Pages

Senin, 02 Juni 2008

SEMINAR LITERATUR si pita

Huhuhu,,,seminar literatur,,, daftar tinggal 5 hari lagi,,,pta siap gak ya???????????


IMMBOBILISASI KOVALEN GLUKOAMILASE DARI SELULOSA DIALDEHID AMPAS TEBU



Ringkasan

Serat selulosa dari ampas tebu dioksidasi oleh natrium periodat dalam media asam sulfat pada posisi 2 dan 3 unit anhidroglukosa untuk menghasilkan selulosa dialdehid. Kelompok aldehid dari selulosa dialdehid mampu untuk bereaksi dengan golongan amino dari glukoamilase untuk membentuk ikatan kovalen dan hasil dalam selulosa dialdehid enzim immobilisasi. pH optimum dari immbolisasi enzim ini dan enzim bebas berturut-turut dalam rentang 3,0 – 5,0 dan 3,5 – 5,0. Suhu optimum untuk keduanya, yaitu enzim dan enzim immobilisasi adalah 60-65oC. Aktivitas relatif yang tersisa dari immobilisasi enzim adalah 36% dan kestabilannya sangat baik, sejak dapat digunakan kembali untuk lebih dari 30 kali pengulangan. Aktifitasnya berkurang dari pertama sampai pemakaian kembali yang ketujuh, sesuai dengan pemisahan lambat dari enzim berikatan non-kovalen. Bagaimanapun, aktivitasnya cenderung stabil pada pengulangan ketujuh, menandakan sangat stabilnya ikatan kovalen antar enzim dengan selulosa dialdehid.

Kata kunci : Selulosa, ikatan kovalen, dialdehid, glukoamilase, immobilisasi

Pendahuluan

Enzim immobilisasi telah digunakan dalam teknologi makanan, bioteknologi, biomedicine, dan juga kimia analitik. Mereka menyediakan banyak keuntungan selain enzim bebas termasuk pemisahan yang mudah dari reaktan dan produk dari media reaksi, mudahnya mendapatkan enzim kembali, dan pengulangan atau penggunaan kembali secara berkelanjutan. Enzim dapat diimmobilisasi menjadi jumlah yang besar dari pembawa yang berbeda dengan memerangkapnya, adsorbsi, ikatan ion dan ikatan kovalen. Ikatan kovalen sangat efektif dalam menahan enzim dan dapat mencapai aktivitas tinggi setelah immobilisasi, jika bisa asam amino yang berikatan kovalen untuk material pendukung yang tidak dilibatkan dalam tempat aktif atau tempat ikatan substrat.

Immobilisasi enzim dengan ikatan kovalen yang tersedia, memiliki keuntungan sebagai berikut: (1) enzim tidak bocor atau lepas dari pendukung selama digunakan karena ikatan yang kuat, (2) enzim immobilisasi dapat lebih mudah membuat kontak dengan substrat karena ditempatkan pada permukaan pendukung, dan (3) peningkaan dalam stabilitas panas yang sering diamati karena interaksi yang kuat antara enzim dengan material-material pendukung.

Materi selulosa secara luas digunakan sebagai pembawa untuk enzim immobilisasi. Keuntungannya adalah mudah didapat, murah, bersifat hidrofilik dan jumlah yang besar dari kelompok hidroksil pada permukaan reaksi kimia. Bagaimanapun, kerugiannya adalah sebagai pembawa ketahanan terhadap mekanik rendah dan fasilitas untuk biodegradasi. Enzim dapat diimmobilisasi dalam selulosa dan turunannya dengan cara yang bermacam-macam, termasuk adsorbsi dalam pertukaran ion selulosa, pengikatan melalui formasi cincin chelat dalam permukaan selulosa diaktivasi oleh garam dari logam transisi dan ikatan kovalen. Contoh berikatan kovalen termasuk berikatan dengan selulosa diaktivasi oleh cyanogen bromida. Mengikat dengan arti bahwa glutaraldehid dengan selulosa aminoetil, mengikat dengan penggunaan triazine, dan berikatan dengan metode azide terhadapselulosa carboxymethyl. Tujuan adari percobaan ini untuk menguji kemungkinan immobilisasi dri glukoamilase dalam ampas tebu setelah pengaktivan ampas tebu dengan asam periodat.

Bahan dan Metoda

Bahan baku

Glukoamilase (AMG 300 L) dari Nove Industries, Denmark. Amapas tebu digunakan sebagai pembawa dan tepung tapioka diperoleh dari pasar lokal. Natrium Metaperiodat, NaOH, Asam Sulfat, dan asam dinitrosiklik, diperoleh dari Merck, Co.Ltd, Jerman. Ampas tebu diperoleh dari penjual jus tebu di Bangkok.

Immobilisasi glukoamilase diselidiki dari langkah-langkah berikut.

Pemurnian ampas tebu dengan analisis proximat.

Amapas tebu dimurnikan tiga kali dengan perebusan dengan asam sulfat 1,25% dan NaOH 1,25% dan diikuti dengan pencucian dengan air distilasi sekali satu jam. Kemudian dikeringkan dan dipotong-potong kecil. Protein, lemak, abu dan uap dianalisa dengan metoda AOAC. Selulosa dianalisa dengan metoda yang diuraikan dalam Food Chemical Codex (1981)

Persiapan oksidasi sampah tebu

5 gram ampas tebu yang dimurnikan diperoleh dari langkah di atas (prescoked) dalam 35 ml dan 0,03 M asam periodat (Natrium metaperiodat dan asam sulfat). pH larutan diatur jadi 3, dilanjutkan dengan pemanasan dalam waterbath pada suhu 90oC dan pengocokan yang konstan pada 200 rev/m, selama 15 jam. Ampas tebu kemudian disaring dan dicuci tiga kali denga air distilasi sebelum pengeringan dan dilewatkan melalui ayakan/ saringan untuk memperoleh ukuran partikel dalam rentang antara 180-355μm. Perolehan jumlah kelompok aldehid ditentukan dengan metoda yang telah diuraikan di mana saja.

SEM (Scanning Electron Microscope)

Scanning Electron Microscope (SEM model JEOL JSM – S410LV microscope, Tokyo, Japan) digunakan untuk mempelaari morfologi dari ampas tebu sebelum dan sesudah oksidasi.

Immobilisasi glukoamilase

A. 1,0 garam sampel ampas tebu kering dicelupkan dalam 30 ml larutan glukoamilase dan diinkubasi dalam waterbath dengan pengocokan konstan pada 50oC selama 30 menit. Kemudian ampas tebu disaring untuk mengeluarkan enzim yang berlebih dan ini dilanjutkan dengan pencucian selama 5 kali 1000 ml air distilasi.

Menguji kadar logam (assay) aktivitasenzim bebas dan immobilisasi

Aktivitas dari enzim ditentukan dengan penambahan 0,50 ml glukoamilase ke dalam 1,5 ml 2% (w/v) larutan tepung tapioka yang dimasak dan 1,0 ml asam asetat buffer natrium asetat (pH 4,5). Campuran diinkubasi dalam waterbath dengan pengocokan konstan pada 200 rev/menit, 40oC selama 15 menit dan gula yang dibebaskan diukur dengan metoda DNS (dinitrosalicyclic acid) (Bernfeld 1995). Aktifitas satu unit glukoamilase dilanjutkan dengan pengurangan gula yang dilepaskan oleh 1 ml enzim (μmol/ml) yang diukur dengan metoda DNS.

Aktivitas enzim immobilisasi ditentukan dengan penambahan 0,25 gram dari enzim immobilisasi ke dalam 20 ml larutan tepung tapioka masak 2% dan 13 ml buffer asetat (pH 4,5). Campuran dipanaskan dalam waterbath dengan pengocokan konstan pada 200 rev/menit, 40oC selama 15 menit. Pengambilan ampas tebu dari larutan menghentikan reaksi. Enzim immobilisasi dicuci dengan air distilasi setelah diukur kembali aktivitasnya dalam penggunaan berturut-turut.

Aktivitas dari enzim bebas dan enzim immobilisasi juga ditentukan pada pH 2,5 – 3,5 dengan menggunakan glycylglycine - buffer HCl pada pH 4,5 – 5 dengan menggunakan asam asetat – buffer natrium asetat, pada pH 6,0 dengan menggunakan asam suksinat – buffer natrium suksinat pada pH 7 dengan asam posfor – buffer natrium posfat secara berurutan.

Penentuan anktifitas residu relatif

Aktifitas residu relatif diartikan sebagai hasil dari enzim immobilisasi dalam ampas tebu dan ditunjukkan dalam penentuan dengan perhitungan sebagai berikut:

Aktifitas residu relatif = 100 A / (B – C)

Dimana A adalah aktivitas enzim immobilisasi; B merupakan aktivitas dari penambahan enzim bebas dan C adalah aktivias dari enzim yang telah diimobilisasi.

Hasil

Ampas tebu yang telah dimurnikan dianalisa untuk kelembaban, protein, lemak, abu, serat. Ditemukan terdapat protein, lemak, abu, serat dan kelembaban adalah 0,42 (N x 5,7); 0; 0,56; 79,58 dan 8,38% secara berurutan. Selulosa dalam ampas tebu dimurnikan dengan mengalirkan pengotor dari ampas tebu dengan mencairkan NaOH dan asam sulfat. Ampas tebu murni dianalisa untuk selulosa dan ditemukan sebanyak 71,22% berat kering. Immobiliasi enzim melalui ikatan kovalen terhadap ampas tebu didasarkan pada kenyataan bahwa selulosa merupakan komponen utama dalam ampas tebu dan dapat direaksikan dengan asam periodat (Na metaperiodat dan asam sulfat) untuk membentuk selulosa dialdehid. Jumlah kelompok aldehid dinyatakan pada variasi waktu oksidasi, ditunjukkan pada gambar 1. SEM dari ampas tebu sebelum dan sesudah oksidasi ditunjukkan pada gambar 2A dan B.

Data untuk enzim immobilisasi ditunjukkan dalam tabel 1. Aktifitas residu relatif dihitung dari persamaan (1) dan tabel 1, menghasilkan 36%. Kondisi optimum untuk aktifitas tinggi dari enzim bebas dan glukoamilase immobilisasi dalam ampas tebu dioksidasi merupakan beberapa perbedaan (gambar 3). Pada suhu 40oC, pH optimum untuk enzim bebas mendekati pH 3,5 – 5,0, sementara untuk enzim imobilisasi rentangnya 3,0 – 5,0. Bagaimanapun, enzim immobilisasi menyediakan aktifitas tertinggi dari enzim bebas di atas rentang pH 2,5 – 3,0 dan 6,0 – 7,0.

Data untuk aktifitas relatif enzim Vs. Suhu pada pH 4 ditunjukkan pada gambar 4. Ditunjukkan bahwa suhu optimum untuk keduanya, enzim bebas dan nzim immobilisasi adalah 60 – 65oC. Aktifitas relatif dari enzim immobilisasi lebih tinggi pada rentang suhu 30 – 55oC dan 70 – 80oC.

Kestabilan immobilisasi dari enzim dapat diteliti dari jumlah putaran kemungkinan penggunaan kembali. Tes ini menghasilkan 30 putaran pada pH 4,0 dan suhu 65oC dengan 2% larutan tepung tapioka sebagai substrat ( gambar5).

Aktifitas relatif dari enzim immobilisiasi menurun secara berkelanjutan sampai 65% dengan 15 kali putaran pengunaan kembali, namun setelah itu, aktifitas relatif hampir tetap sampai 30 putaran.

Diskusi

Jumlah kemlompok aldehid yang dibntuk dalam oksidasi ampas tebu meningkat dengan pertambahan waktu reaksi. Oksidasi yang lebih lama dikarenakan penghancuran total serat selulosa untuk menghasilkan bubuk selulosa yang sangat baik, yang mana tidak sesuai untuk penemuan kembali enzim immobilisasi setelah reaksi enzimatik dilakukan. SEM dari ampas tebu sebelum dan sesudah oksidasi menunjukkan penghancuran material serat dan bentuk pori-pori dari serat setelah oksidasi. Dalam proses immobilisasi, aktifitas residu relatif seharusnya lebih tinggi dari biasanya. Aktivitas residu relatif yang sangat rendah menandakan proses immobilisasi yang tidak bernilai. Aktivitas residu realtif sebesar 36% dpat diterima. Untuk optimasi pH, ditunjukkan bahwa enzim immobilisasi menyediakan aktivitas relatif yang lebih tinggi daripada enzim bebas, khususnya pada rentang pH 2,5 – 3,0 dan 6,0 – 7,0. Untuk optimisasi enzim immobilisasi, aktifitas relatif lebih tinggi pada rentang suhu 30-55 dan 70 – 80oC daripada enzim bebas. Hasil ini menunjukkan aktifitas relatif lebih tinggi dibanding enzim bebas di bawah kondisi yang sama. Berdasarkan hasil dari 30 putaran pengunaan kembali, ini memungkinkan bahwa dua proses immobilisasi. Proses yang satu dapat berupa adsorpsi fisika dan ikatan kovalen yang lain. Adsorpsi fisika dari enzim terhadap ampas tebu akan ditahan sementara dan ini lebih lambat dan terpisah berkelanjutan selama tiap-tiap putaran pemakaian kembali. Ini dapat dihitung untuk aktifitas enzim yang berkurang sampai 15 putaran pemakaian kembali. Sejak aktivitas stabil setelahnya, mungkin saja seharusnya aktivitas tersisa terhadap ikatan kovalen dan ini dihitung sekitar 65% dari total immobilisasi glukoamilase.

Penelitian ini telah dikembangkan sebuah teknik untuk menyiapkan enzim immobilisasi yang lebih tahan lama menggunakan ampas tebu sebagai immobiliassi pendukung yag murah. Asam iodat atau ion iodat dihasilkan dari reaksi asam periodat (natrium metaperiodat dan asam sulfat) dan ampas tebu dapat dioksidasi kembali terhadap asam periodat dengan mereaksikannya dengan kalsium hipoklirit atau agen pengoksidasi yang lebih kuat dibanding asam periodat (Pfeifer et al. 1960; Mehltretter 1963, 1966, 1967). Asam iodat dapat juga dioksidasi kembali secara elektrokimia menjadi asam periodat (McGuire & Mehltretter 1971).

Kesimpulan

Selulosa dalam ampas tebu dapat diokasidasi dengan asam periodat membentuk selulosa dialdehid (ampas tebu), yang mana dapat reaksikan dengan kelompok amino dari glukoamilase untuk membentuk ikatan kovalen enzim immobilisasi. Enzim immobilisasi ini bisa digunakan dalam produksi sirup glukosa, bubuk glukosa, dan fruktosa.

PENGEMBANGAN BIOETANOL DARI SERBUK GERGAJI SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF DI INDONESIA



Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan sarana transportasi dan sarana industri, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM). Bahan bakar minyak tersebut berasal dari hasil yang cadangannya terus menipis dan tidak dapat diperbaharui. Produksi bahan bakar minyak dunia diperkirakan menurun dari 25 milyar barel menjadi 5 milyar barel pada tahun 2025 (Campbell dan Laherrere ; 1998). Hal ini menyebabkan terjadinya krisis energi yang ditandai dengan melambungnya harga minyak dunia, sehingga membuat orang harus mencari bahan bakar alternatif. Bahan bakar alternatif yang dicari adalah bahan bakar yang memiliki gas buangan ramah lingkungan.

Berdasarkan hal tersebut, maka Uni Eropa berencana untuk menggantikan 20% dari bahan bakar fosil dengan bahan bakar alternatif di sector transportasi pada tahun 2020. secara bertahap sebesar 5,75% sampai tahun 2010. Di Amerika Serikat, Undang-Undang tahun 2005 tentang kebijakan energi menetapkan pemakaian 7,5 milyar gallon bahan bakar alternatif pada tahun 2012 (Gray et al,,2006).

Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengumumkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak (BBM) impor, dengan membuat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006, tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak, salah satunya adalah sebanyak 5% bahan bakar nabati (biofuel) sampai tahun 2025.

Salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan adalah bioetanol. Bioetanol merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui karena berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan bakar bioetanol, juga menghasilkan CO2, tetapi CO2 yang dihasilkan setelah pembakaran difotosintesis kembali oleh tumbuh-tumbuhan, sehingga pemakaian bahan bakar bioetanol tidak meningkatkan kadar CO2 yang ada di atmosfer. Bahan dasar bioetanol yang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah jagung, ubi, dan tebu. Namun Jagung, tebu dan ubi sebagai bahan dasar untuk bioetanol mempunyai kelemahan, yaitu berkompetisi terhadap kebutuhan pangan, sehingga ketetersediaannya untuk bahan dasar bioetanol terbatas.

Bahan dasar untuk produksi bioetanol yang semakin berkembang saat ini adalah lignoselulosa yang merupakan limbah dari hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang ketersediaannya mencapai 120 juta ton di Indonesia. Bahan ini sangat cocok untuk dikembangkan sebagai bahan dasar industri bioetanol di Indonesia, yang mempunyai lahan hutan, pertanian, dan perkebunan yang luas, sehingga memiliki potensi besar sebagai penghasil bahan dasar industri etanol.


Dalam penelitian ini dipakai serbuk gergaji sebagai bahan dasar bioetanol yang merupakan penghasil lignoselulosa. Serbuk gergaji ini dipilih sebagai bahan dasar, karena tidak berkompetisi terhadap kebutuhan pangan, tidak memerlukan pupuk, dan bibit sehingga biaya yang diperlukan menjadi lebih murah.

Serbuk gergaji dipresto terlebih dahulu agar terjadi proses peregangan dari ikatan-ikatan lignoselulosa yang berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah pembuatan enzim dengan cara penambahan jamur trichoderma viridie. Jamur ini akan mengambil kandungan selulosa yang berada pada serbuk gergaji. Setelah enzim tersedia barulah dilakukan proses hidrolisa untuk mendapatkan etanol pada proses fermentasi dengan bantuan jamur saccharomyces cereviceae. Hidrolisa dilakukan dengan cara memasukkan serbuk gergaji (sampel) dan air ke dalam alat presto. Hidrolisa dilakukan dengan varisasi waktu 0,5 jam, 1 jam, 1,5 jam, 2 jam, 2,5 jam. Penghidrolisaan serbuk gergaji ditujukan sebagai peregang lignin dan selulosa yang dapat mengganggu proses fermentasi nantinya. Hasil presto disaring dan pindahkan ke erlenmeyer, lalu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 45o C selama 45 jam. Dihasilkan cellulatix complex dengan memblender serbuk gergaji hasil inkubasi selama 15 menit. Saring sehingga didapatkan filtrat sebagai enzim atau cellulatix compleks yang akan membantu proses fermentasi glukosa menjadi bioetanol. Perlakuan berikutnya adalah pengujian gula reduksi terhadap cellulatix complex, dilakukan dengan menggunakan metoda Smogy Nelson. Dengan menggunakan reagen Nelson dan reagen fosfomolibdat. Lalu diukur dengan menggunkan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.

25 g serbuk gergaji dihidrolisa dengan presto dengan variasi waktu hidrolisa 0,5 jam, 1 jam, 1,5 jam, 2 jam, 2,5 jam. Saring serbuk gergaji tambahkan 1 mL hasil inokulan saccharomyces cereviceae, cellulatix compleks, dan 10 mL nutrien. Tutup rapat erlenmeyer agar fermentasi anaerobic dapat berlansung dengan sempurna. Glukosa yang terbentuk dapat diketahui dengan pengurangan berat sampel akibat terbuangnya gas CO2 yang terbentuk. Adanya gas CO2, ditandai dengan keruhnya aquadest penampung CO2 yang dihubungkan dengan selang ke erlenmeyer tempat fermentasi berlangsung. Selama fermentasi, silakukan penimbangan pada rentang 0, 4, 20, 24, 44, 48, 52, 68, 92 dan 96 jam untuk melihat berapa jumlah glukosa yang terbentuk dengan pembuangan gas CO2.


Dari hasil penimbangan, terlihat bahwa etanol terbanyak dihasilkan pada massa CO2 yang terbuang, yaitu pada kondisi pH optimum 6, dengan lama hidrolisa 1 jam. Selanjutnya, penentuan etanol dapat dilakukan pada pH 6 dengan menggunakan buffer posfat dengan lama hidrolisa 1 jam. Berdasarkan perhitungan, diketahui massa etanol yang terbentuk sebesar 0,67 gram.

Untuk pemurnian, sampel hasil didestilasi dengan titik didih etanol pada 78,5 oC. Namun setelah dilakukan pemurnian dengan cara distilasi, kami tidak mendapatkan hasil yang optimal, karena sampel (serbuk gergaji) yang kami gunakan jumlahnya sedikit.

Walaupun dengan cara distilasi belum berhasil, dicoba metode lain yaitu pengoptimalisasian dengan merubah lignin, karena 15-30 % serbuk gergaji merupakan lignin. Maserasi serbuk gergaji dengan NaOH dapat di mengubah lignin menjadi etanol. Perendaman serbuk gergaji dengan NaOH dilakukan dengan perbandingan konsentrasi lignin : NaOH adalah 1,5 – 2 : 1, selama 1 jam, dalam perbandingan volume basa : berat lignin adalah 10 : 1.(miller, et al). Diperoleh etanol yang lebih banyak yaitu sekitar 1,17 g. Etanol yang dihasilkan dapat dimurnikan kembali dengan menggunakan campuran azeotrop dengan menggunakan zat penarik air atau cara molekulasif. Sehingga, akan menghasilkan etanol dengan kemurnian 99,9% yang aman di gunakan dalam kendaraan. Namun, walaupun sudah dicoba, etanol yang dimaksud belum juga didapatkan, terkendala media untuk melakukan fermentasi dalam penghasilan etanol.


 

(c)2009 ribbonluvjiyong. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger