Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan sarana transportasi dan sarana industri, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM). Bahan bakar minyak tersebut berasal dari hasil yang cadangannya terus menipis dan tidak dapat diperbaharui. Produksi bahan bakar minyak dunia diperkirakan menurun dari 25 milyar barel menjadi 5 milyar barel pada tahun 2025 (Campbell dan Laherrere ; 1998). Hal ini menyebabkan terjadinya krisis energi yang ditandai dengan melambungnya harga minyak dunia, sehingga membuat orang harus mencari bahan bakar alternatif. Bahan bakar alternatif yang dicari adalah bahan bakar yang memiliki gas buangan ramah lingkungan.
Berdasarkan hal tersebut, maka Uni Eropa berencana untuk menggantikan 20% dari bahan bakar fosil dengan bahan bakar alternatif di sector transportasi pada tahun 2020. secara bertahap sebesar 5,75% sampai tahun 2010. Di Amerika Serikat, Undang-Undang tahun 2005 tentang kebijakan energi menetapkan pemakaian 7,5 milyar gallon bahan bakar alternatif pada tahun 2012 (Gray et al,,2006).
Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengumumkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak (BBM) impor, dengan membuat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006, tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak, salah satunya adalah sebanyak 5% bahan bakar nabati (biofuel) sampai tahun 2025.
Salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan adalah bioetanol. Bioetanol merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui karena berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan bakar bioetanol, juga menghasilkan CO2, tetapi CO2 yang dihasilkan setelah pembakaran difotosintesis kembali oleh tumbuh-tumbuhan, sehingga pemakaian bahan bakar bioetanol tidak meningkatkan kadar CO2 yang ada di atmosfer. Bahan dasar bioetanol yang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah jagung, ubi, dan tebu. Namun Jagung, tebu dan ubi sebagai bahan dasar untuk bioetanol mempunyai kelemahan, yaitu berkompetisi terhadap kebutuhan pangan, sehingga ketetersediaannya untuk bahan dasar bioetanol terbatas.
Bahan dasar untuk produksi bioetanol yang semakin berkembang saat ini adalah lignoselulosa yang merupakan limbah dari hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang ketersediaannya mencapai 120 juta ton di Indonesia. Bahan ini sangat cocok untuk dikembangkan sebagai bahan dasar industri bioetanol di Indonesia, yang mempunyai lahan hutan, pertanian, dan perkebunan yang luas, sehingga memiliki potensi besar sebagai penghasil bahan dasar industri etanol.
Dalam penelitian ini dipakai serbuk gergaji sebagai bahan dasar bioetanol yang merupakan penghasil lignoselulosa. Serbuk gergaji ini dipilih sebagai bahan dasar, karena tidak berkompetisi terhadap kebutuhan pangan, tidak memerlukan pupuk, dan bibit sehingga biaya yang diperlukan menjadi lebih murah.
Serbuk gergaji dipresto terlebih dahulu agar terjadi proses peregangan dari ikatan-ikatan lignoselulosa yang berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah pembuatan enzim dengan cara penambahan jamur trichoderma viridie. Jamur ini akan mengambil kandungan selulosa yang berada pada serbuk gergaji. Setelah enzim tersedia barulah dilakukan proses hidrolisa untuk mendapatkan etanol pada proses fermentasi dengan bantuan jamur saccharomyces cereviceae. Hidrolisa dilakukan dengan cara memasukkan serbuk gergaji (sampel) dan air ke dalam alat presto. Hidrolisa dilakukan dengan varisasi waktu 0,5 jam, 1 jam, 1,5 jam, 2 jam, 2,5 jam. Penghidrolisaan serbuk gergaji ditujukan sebagai peregang lignin dan selulosa yang dapat mengganggu proses fermentasi nantinya. Hasil presto disaring dan pindahkan ke erlenmeyer, lalu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 45o C selama 45 jam. Dihasilkan cellulatix complex dengan memblender serbuk gergaji hasil inkubasi selama 15 menit. Saring sehingga didapatkan filtrat sebagai enzim atau cellulatix compleks yang akan membantu proses fermentasi glukosa menjadi bioetanol. Perlakuan berikutnya adalah pengujian gula reduksi terhadap cellulatix complex, dilakukan dengan menggunakan metoda Smogy Nelson. Dengan menggunakan reagen Nelson dan reagen fosfomolibdat. Lalu diukur dengan menggunkan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
25 g serbuk gergaji dihidrolisa dengan presto dengan variasi waktu hidrolisa 0,5 jam, 1 jam, 1,5 jam, 2 jam, 2,5 jam. Saring serbuk gergaji tambahkan 1 mL hasil inokulan saccharomyces cereviceae, cellulatix compleks, dan 10 mL nutrien. Tutup rapat erlenmeyer agar fermentasi anaerobic dapat berlansung dengan sempurna. Glukosa yang terbentuk dapat diketahui dengan pengurangan berat sampel akibat terbuangnya gas CO2 yang terbentuk. Adanya gas CO2, ditandai dengan keruhnya aquadest penampung CO2 yang dihubungkan dengan selang ke erlenmeyer tempat fermentasi berlangsung. Selama fermentasi, silakukan penimbangan pada rentang 0, 4, 20, 24, 44, 48, 52, 68, 92 dan 96 jam untuk melihat berapa jumlah glukosa yang terbentuk dengan pembuangan gas CO2.
Dari hasil penimbangan, terlihat bahwa etanol terbanyak dihasilkan pada massa CO2 yang terbuang, yaitu pada kondisi pH optimum 6, dengan lama hidrolisa 1 jam. Selanjutnya, penentuan etanol dapat dilakukan pada pH 6 dengan menggunakan buffer posfat dengan lama hidrolisa 1 jam. Berdasarkan perhitungan, diketahui massa etanol yang terbentuk sebesar 0,67 gram.
Untuk pemurnian, sampel hasil didestilasi dengan titik didih etanol pada 78,5 oC. Namun setelah dilakukan pemurnian dengan cara distilasi, kami tidak mendapatkan hasil yang optimal, karena sampel (serbuk gergaji) yang kami gunakan jumlahnya sedikit.
Walaupun dengan cara distilasi belum berhasil, dicoba metode lain yaitu pengoptimalisasian dengan merubah lignin, karena 15-30 % serbuk gergaji merupakan lignin. Maserasi serbuk gergaji dengan NaOH dapat di mengubah lignin menjadi etanol. Perendaman serbuk gergaji dengan NaOH dilakukan dengan perbandingan konsentrasi lignin : NaOH adalah 1,5 – 2 : 1, selama 1 jam, dalam perbandingan volume basa : berat lignin adalah 10 : 1.(miller, et al). Diperoleh etanol yang lebih banyak yaitu sekitar 1,17 g. Etanol yang dihasilkan dapat dimurnikan kembali dengan menggunakan campuran azeotrop dengan menggunakan zat penarik air atau cara molekulasif. Sehingga, akan menghasilkan etanol dengan kemurnian 99,9% yang aman di gunakan dalam kendaraan. Namun, walaupun sudah dicoba, etanol yang dimaksud belum juga didapatkan, terkendala media untuk melakukan fermentasi dalam penghasilan etanol.
0 komentar:
Posting Komentar